RODA-RODA KEHIDUPAN DESA
DESA, suatu kata yang memang sangat sering kita dengar, baik mereka yang menetap di kota, apabila bagi orang desa sendiri.Tiap hari, radio, TV, koran,majalah mengunjungi desa-desa dari seluruh pojok tanah air, pulangnya mereka membawa oleh-oleh yang berbagai macam. Ada yang menggembirakan dan tak jarang pula yang memprihatinkan.Desa merupakan tumpuan harapan terutama apabila ada kebutuhan yang mendesak. Rakyat Indonesia didesa mayoritas, kata orang sampai 80 %. Itulah sebabnya mengapa mereka jadi tenaga raksasa pembangunan Indonesia. Dimasa PKI rakyat desa digodok supaya menjadi pendukung Komunis yang setia. Dimasa Jepang rakyat desa dikerahkan oleh tentara Nippon bekerja di proyek2 jalan raya, bikin landasan pesawat terbang. Beribu-ribu jiwa rakyat desa terkorban akibat kerja paksa si Nippon itu.
Desa banyak melahirkan syuhada, putra-putri yang gagah perkasa, berjuang mengusir penjajah dengan rela. Di ujung sebelah Barat pulau-pulau Nusantara terbetik berita yang terjamin kebenarannya, bahwa disana Belanda sangat kewalahan menaklukkan mereka. Itulah Aceh Negeri Darah Pahlawan. Disana Belanda terpaksa berperang selama 50 (lima puluh) tahun, barulah Aceh dapat ditundukkan. Yang sangat aktif berjuang disana juga rakyat dari desa. Mereka mudah dipengaruhi, sebab mereka sangat kaya moril, mati bukanlah hal yang mereka takuti. Pendorongnya adalah Syair-syair Perang yang sengaja dikarang oleh ulama-ulama.
Syair Perang tersebut adalah Hikayat Prang Sabi hasil karangan Teungku Chik Pante Kulu pada tahun 1880, jadi jika hitung sekarang sudah berusia tepat seratus tahun. Hikayat Prang Sabi (Sabil) genap seabad sejak ia dikarang oleh TEUNGKU CHIK PANTE KULU pada tahun 1880 dimana sekarang (tahun ini) adalah tahun 1980 (Apakah tidak terlintas dalam benak/hati bangsa Indonesia untuk memperingati/mengenang kembali, hikayat yang sangat berjasa dalam perjuangan melawan Belanda itu?). Mudah2an janganlah bangsa kita berwatak sebagai “Kacang yang lupa akan kulitnya”.
Tokoh penyair yang menulis Hikayat Prang Sabi yaitu Teungku Chik Pante Kulu, bukanlah dilahirkan dikota, di sebuah rumah yang besar seagung :Gunung Selawah Dara” tapi sebaliknya, beliau dilahirkan di sebuah rumah yang sederhana di suatu desa di pedalaman. Tepatnya di desa Pante Kulu, kecamatan Titeue Keumala, Kabupaten Pidie , Aceh. Jadi beliau yang besar ini juga seorang putra d e s a (Jadi tidak menyimpang dari pokok masalah yang sedang kita bahas yakni problema d e s a).
WAKIL PRESIDEN ADAM MALIK pernah menanggapi tentang keampuhan/peranan yang besar yang telah dimainkan oleh Hikayat Prang Sabi sewaktu zaman penjajahan Belanda.
Harian Waspada terbitan tujuh(7) Januari 1980 pada halaman populer menceritakan tentang ucapan Adam Malik ini. Dalam jamuan makan dengan para peserta pertemuan Sastrawan 1979:” Adam Malik meminta, agar para sastrawan Nusantara jangan hanya menciptakan “Karya Sastera Santai”, tapi mereka harus dapat menciptakan karya sastera yang lebih berarti dan bernila, seumpama karya sastra yang dapat menimbulkan semangat perjuangan. Adam Malik mengambil contoh karya sastera Hikayat Prang Sabi ciptaan Teungku ChikMuhammad Pante Kulu, yang dapat membangkitkan semangat jihad pemuda-pemuda Aceh untuk berperang melawan Belanda berpuluh-puluh tahun lamanya. Seakan-akan Adam Malik hendak bertanya: Kapan kiranya lahir Teungku Chik Muhammad Pante Kulu dalam kalangan para sastrawan Nusantara pada penghujung abad ke XX ini?”.
Kalau Adam Malik telah menyetujui bahwa Teungku Chik Muhammad Pante Kulu memang besar jasanya, bukankah sudah sewajarnya kalau pemerintah Republik Indonesia, menganugerahi kepada beliau (Teungku Chik Pante Kulu) gelar kehormatan sebagai PAHLAWAN NASIONAL???.
Penghidupan di desa dan problemanya
Berbicara tentang masalah desa, terbayang dipikiran kita akan suatu horizon atau sekop jangkauan yang maha besar. Bumi Indonesia yang sangat luas, yang terdiri dari beribu pulau, dimana disetiap pulau terbentanglah “Inti tempat kediaman manusia Indonesia” yang berpuluh ribu jumlahnya, inti yang penulis maksudkan adalah desa-desa tercinta.
Menurut penelitian yang seksama tahun 1977/1978 bahwa jumlah desa untuk seluruh Indonesia sebanyak 60.415 buah dengan nama, susunan, struktur, adat-istiadat, potensi dan kemampuan yang beraneka ragam serta tipologi dan pemukiman penduduk yang berbeda-beda. Walaupun pada pandangan umum bahwa kehidupan rakyat desa hanya bertani tapi dari bidang lain mereka juga usahakan. Dari data-data yang telah ada bahwa diperkirakan 63% penduduk desa bekerja di sektor pertanian, 11% di sektor perdagangan, 10% disektor jasa, 7% disektor industri dan selebihnya di sektor lainnya.
Problema desa lainnya adalah lokasi atau letak desa yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Ada desa yang lokasinya dekat dengan pusat-pusat kota yang otomatis memiliki fasilitas yang relative baik (21%) sedangkan persentase yang besar lagi terletak jauh dari pusat-pusat kota (79%) dan bahkan ada desa yang terisolir sekali.
Daerah pedesaan pada hakikatnya merupakan sumber kebutuhan pokok rakyat Indonesia. Tetapi perkembangan desa itu sendiri banyak bergantung pada keadaan dan tersedianya sumber didesa itu sendiri. Sumber yang ada didesa pada umumnya tersedia antara lain: tanah, tetumbuhan, hewan, air, angin, sinar matahari. Segala sumber itu juga harus diolah lagi yang bergantung pula pada faktor-faktor sebagai berikut: letak geografis daerah pedesaan, situasi dan kondisi serta pertumbuhan kehidupan sosial budaya masyarakat jumlah penduduk dan penyediaan tenaga kerja, pendidikan rata-rata penduduk, keadaan prasarana produksi, keterampilan dan mobilitas masyarakat, di samping sikap dan kesediaan masyarakat untuk menerima ide-ide pembangunan itu sendiri. Interaksi antara sumber dan faktor-faktor yang tersebut di atas akan menentukan corak dan wajah dari suatu desa, namun terlepas dari semua yang tersebut di atas. Tingkah laku masyarakat dan sikapnya terhadap lingkungannya di dalam mengelola sumber-sumber tadi kebutuhan hidupnya dan menentukan pula pencapaian tujuan pembangunan.